Rabu, 24 Desember 2014
Selasa, 02 Desember 2014
Cara Mempercepat Google Chrome
1. Buka browser Google
Chrome lalu Ketik chrome://flags/#max-tiles-for-interest-area.
Setelah itu Anda harus memilih kotak layanan bertuliskan 'Maximum Tiles For
Interest Area', lalu pilih opsi '512' dan pilih 'Relaunch Now'. Hal ini
dilakukan untuk mengganti RAM Rate browser Chrome yang awalnya 64MB menjadi
512MB.
2. Lalu ketik lagi chrome://flags/#enable-new-ntp.
Setelah itu ganti kotak 'Default' menjadi 'Enable' lalu tekan 'Relaunch Now'.
Kemudian pilih 'Restart Google Chrome'.
Dua cara sederhana di atas diyakini mampu mempercepat performa browser Chrome
sehingga terasa lebih ringan ketika digunakan menjelajah di dunia maya. Akses
ke tiap laman yang Anda tuju akan terasa lebih cepat. Selamat mencoba.
2. Lalu ketik lagi chrome://flags/#enable-new-ntp. Setelah itu ganti kotak 'Default' menjadi 'Enable' lalu tekan 'Relaunch Now'. Kemudian pilih 'Restart Google Chrome'.
Dua cara sederhana di atas diyakini mampu mempercepat performa browser Chrome sehingga terasa lebih ringan ketika digunakan menjelajah di dunia maya. Akses ke tiap laman yang Anda tuju akan terasa lebih cepat. Selamat mencoba.
7 Alasan Kenapa Kuliah Tak Akan Otomatis Membuat Masa Depanmu Cerah
1. Di zaman orangtua, kuliah adalah satu-satunya jalan untuk menambah ilmu selepas SMA. Berbeda dengan kita, yang punya internet untuk belajar apa saja.
Di zaman orangtua kita, pergi kuliah
adalah satu-satunya cara untuk menambah ilmu setelah lulus SMA. Memang,
di bangku universitaslah kita diajarkan untuk berpikir dan berargumen,
menulis dan mengkritik. Teori-teori dasar yang sudah kita terima di
bangku XI dan XII SMA pun diolah secara lebih dalam.
Kini kita tak perlu status
sebagai mahasiswa resmi sebuah universitas untuk menambah ilmu yang kita
dapat di SMA. Teknologi yang serba digital saat ini memang memudahkan
kita mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia. Berbekal perangkat
laptop dan koneksi internet, kita bisa asyik berselancar di dunia maya;
membaca berita, berbisnis, hingga kuliah online.
Yup, tercatat ada puluhan universitas
top dunia yang saat ini mengijinkan materi-materi perkuliahan mereka
diakses gratis. Mereka menyediakan kumpulan jurnal, video perkuliahan,
hingga forum-forum diskusi yang terbuka untuk umum. Mudah saja, cukup
klik Coursera dan kamu tinggal memilih materi dari kampus yang kamu inginkan. Sekolah musik Berklee, kampus teknologi MIT, Harvard, hingga layanan kursus coding online seperti Codecademy atau Code School tersedia di sini.
2. Gelar sarjana juga tak akan mengantarmu pada gaji besar jika kamu tak punya pengalaman kerja
Masih banyak dari kita yang percaya bahwa sarjana sudah pasti dapat pekerjaan yang layak dengan mudah. Padahal, data Badan Pusat Statistik
(BPS) hingga Februari 2014 mencatat jumlah sarjana yang menganggur
mencapai 400 ribu orang atau 4,3% dari total pengangguran yang tercatat
sebanyak 7,2 juta orang.
Status sarjanamu pun tak akan
otomatis membuatmu bisa punya pekerjaan bergaji besar. Mungkin kamu
malah akan kaget karena gaji pertamamu sama jumlahnya dengan uang
bulanan kiriman orang tua saat kamu masih kuliah dulu.
Ya, kamu boleh jadi punya titel sarjana.
Tapi kamu belum tentu punya pengalaman kerja. Sementara, sebagian besar
perusahaan akan menganggapmu masih hijau atau anak kemarin sore ketika
kamu sama sekali belum pernah bersentuhan dengan dunia profesional. Kamu
masih punya jalan yang panjang dan terjal sebelum bisa meraih
kemapanan.
3. Kamu pun harus menunggu lama supaya biaya besar yang sudah orangtuamu keluarkan bisa balik modal
Kenapa bisa muncul istilah “investasi”
yang dikaitkan dengan urusan pendidikan? Yup, alasannya tak lain tentu
soal uang. Meskipun kuliah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, banyak
orang akan memilih mengusahakannya. Mereka akan berpikir;
“Ah, nggak apa-apa. Anggap saja sebagai modal. Nanti setelah lulus, dapat pekerjaan dan gaji tinggi, pasti bisa balik modal…”
Sayangnya, kondisi perekonomian yang
terus bergejolak semacam menyajikan fakta pahit. Pertambahan jumlah
pencari kerja tak sebanding dengan pertambahan lapangan pekerjaan.
Akibatnya, untuk satu lowongan pekerjaan saja bisa diperebutkan puluhan
orang. Belum lagi standar gaji yang berlaku di negeri kita masih rancu.
Jika hanya mengacu pada UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Pasal 90 ayat (1), yang berbunyi;
“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum”Upah Minimum Regional (UMR) adalah standar bagi para pelaku industri atau pengusaha; nilai gaji terendah yang harus dibayarkan perusahaan pada karyawan tanpa terpengaruh jenjang pendidikan. Lulusan SMA atau Sarjana, buruh atau karyawan, pegawai kontrak atau tetap; bisa jadi mendapat gaji yang sama – senilai UMR.
4. Gelar sarjana hanya akan mengantarmu masuk golongan pekerja kelas menengah, jika kamu tak punya skill khusus yang praktikal
Pendidikan ala universitas tidak didesain untuk menghasilkan pekerja, namun pemikir alias scholar. Untuk sukses di dunia kerja, kamu tidak hanya dituntut untuk bisa berpikir, namun juga bisa memiliki skill atau keahlian khusus yang praktikal. Misalnya: kemampuan berbahasa asing, kemampuan menulis, fotografi, atau programming.
Waktu selama 4 tahun (umumnya) akan
terbuang sia-sia jika kita hanya berpatokan pada nilai bagus dan gelar.
Pasalnya, saat memasuki dunia kerja, sarjana bermodal gelar hanya sampai
pada level menengah. Pekerja jenis ini sulit mencapai puncak
karir dan prestasinya sekadar stagnan. Bukan tidak mungkin,
pencapaiannya justru kalah dengan mereka yang non-sarjana tapi punya
kemampuan atau skill yang mumpuni.
5. Integritas kampus sebagai tempat berkumpulnya kaum intelektual pun bukannya tanpa noda
Berpikir bahwa kampus jadi satu-satunya
tempat dimana kita bisa menghamba ilmu adalah keliru. Faktanya, sistem
pendidikan yang masih cacat di sana-sini membuat kita tak maksimal
belajar. Dosen sering tak hadir di kelas, buku-buku perkuliahan tak
tersentuh proses upgrade, hingga materi yang disampaikan dosen ternyata hanya sekadar copy paste dari buku-buku yang sudah kita beli. Miris, bukan?
Yup, atas alasan inilah, kita pantas
mempertanyakan kembali peran perguruan tinggi sebagai penyedia ilmu.
Apakah uang yang kita bayarkan memang sepadan dengan ilmu yang kita
dapat? Apakah kampus sudah tuntas mendidik kita jadi manusia yang
berguna dan punya intelektualitas? Atau, kampus justru tak lebih dari
penjaja ilmu pengetahuan yang pintar-pintar meyakinkan orang tua kita
agar mau membayar biaya masuk dengan cara sembarangan memasang
embel-embel World Class University?
6. Kampus akan membuatmu terseok-seok dulu demi meraih gelar sarjana. Padahal, mungkin sebenarnya kamu sudah siap melenggang ke tahap hidup yang selanjutnya.
Alih-alih jadi investasi masa depan, tak jarang kampus justru memaksa
mahasiswa untuk menginvestasikan umurnya. Yup, banyaknya beban mata
kuliah atau proses skripsi yang berbelit-belit menjadikan mahasiswa
butuh waktu lama untuk lulus. Jika normalnya S-1 ditempuh selama 4
tahun, seorang mahasiswa bisa jadi butuh waktu 6 tahun atau bahkan
lebih. Padahal, banyak hal yang sudah menanti untuk dikerjakan
selanjutnya; segera bekerja atau menikah misalnya.
7. Dan ketika kamu resmi diwisuda… kamu pun harus rela belajar dari nol lagi begitu masuk dunia kerja!
Entah terdesak kebutuhan atau didasari
alasan lain, banyak sarjana akhirnya memilih pekerjaan yang tak sejalur
dengan pendidikan dan gelarnya. Misalnya, seorang Sarjana Sastra atau
Sarjana Hukum justru bekerja sebagai teller bank yang
mengharuskannya banyak-banyak berhitung dan mulai belajar ilmu
akuntansi. Ilmu yang sudah dipelajari selama bertahun-tahun justru tak
bisa digunakan secara maksimal dalam pekerjaan yang tengah digeluti.
Tentu tak ada istilah sia-sia dalam
menuntut ilmu. Tapi, alangkah baiknya jika ilmu yang sudah dipelajari
memang benar-benar bisa diaplikasikan secara nyata dalam pekerjaan.
Setidaknya, ada rasa puas yang bisa dirasakan mengingat perjuangan
selama masa kuliah yang tak bisa dibilang mudah.
Nah, gimana? Apakah kamu setuju dengan poin-poin di atas, atau justru punya pendapat berbeda?
Well…artikel ini bukan berarti
tidak mendukung generasi kita untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi. Tapi, setidaknya kita bisa terlebih dulu masak-masak berpikir
sebelum mengambil keputusan. Kuliah itu sah-sah saja selama kita paham
betul kebaikan dan kekurangannya. Dan jangan lupa: hanya karena kamu
punya gelar sarjana, belum tentu kamu otomatis akan sejahtera, ya!
Nabila Inaya | Dec, 02 2014
Sumber : www.hipwee.com
Langganan:
Postingan (Atom)